POLITIC by Charles Bukowski [Terjemahan Bahasa Indonesia]

Ifan Reynaldi Yz.
7 min readOct 20, 2024

--

Versi asli cerpen ini (Bahasa Inggris) dapat ditemukan dalam buku kumpulan cerita pendek Bukowski yang berjudul: South of No North.

Meskipun saat ini dunia telah terbuka lebar tak berbusana; semua jenis alat ‘pembantu’ di internet telah dapat diakses secara ugal-ugalan baik itu yang meminta bayaran maupun yang benar digratiskan, hingga kita memiliki budak legal yang diberi nama ‘Kecerdasan Buatan.’ Budak yang tak perlu diupah untuk ia melakukan pekerjaannya. Namun yang perlu dikorbankan ya fungsi otakmu saja, karena apa-apa digantungkan kepada “mereka.”

AI melangkah maju, society melangkah dungu.

— dan dibalik maraknya sebaran atom-atom digital tersebut, kejanggalan yang saya temukan adalah sulit ditemukannya karya-karya Bukowski yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. atau memang tak ada? entah. Benar mungkin, baik itu isi tulisan maupun pribadi penulisnya tak dapat bersanding dengan penulis-penulis viral ataupun tak layak disandingkan dengan mereka-mereka yang berada di puncak rantai kanonisasi sastra, terlebih lagi di tengah planet yang dipenuhi makhluk-makhluk calon penghuni surga ini. “Acuhkan saja si pak tua pemabuk itu.” benar

cukup sekian, takutnya terlarut dalam gerutu. selamat membaca.

POLITIK

oleh Charles Bukowski

Bertempat di L.A. City College, tepat sebelum perang dunia ke-II, aku menyamar sebagai seorang Nazi. Meskipun aku tak mengenal Hitler lebih baik dari Hercules dan tak juga mempedulikannya. Ketika duduk di kelas sembari mendengarkan para patriot berkhotbah tentang bagaimana seharusnya kita segera bergegas pergi dan membunuh mereka para binatang, membuatku merasa bosan. Makanya aku memilih menjadi lawan. Aku bahkan tak perlu repot-repot membaca tentang Adolf, yang perlu kulakukan hanyalah melontarkan apapun yang kurasa jahat ataupun gila.

Namun, sebenarnya aku tak meyakini satupun kepercayaan politik.

Ya, kau tahu, terkadang jika seseorang tak benar-benar percaya pada apa yang ia lakukan, ia justru bisa melakukan pekerjaannya jauh lebih menarik, karna tak ada alasan emosional yang membelenggunya.

Tak lama sebelum para pemuda jangkung berambut pirang membentuk Brigade Abraham Lincoln — untuk melawan gelombang fasisme yang terjadi di Spanyol. Bokong mereka pun tertembak oleh tentara-tentara yang terlatih. Sebagian dari mereka yang memutuskan untuk bergabung mungkin hanya demi sekadar petualangan ataupun sekadar untuk jalan-jalan ke Spanyol, tapi tetap saja, lubang pantatnya juga akan tertembak oleh tentara. Sementara aku menyukai pantatku. Tak ada bagian tubuh yang kusukai melebihi pantat dan penis ini.

Aku melompat dan berteriak di kelas tentang hal apa saja yang terlintas di fikiranku. Biasanya hal yang berkaitan dengan Ras Superior, karna menurutku adalah sesuatu yang lucu. Tentu saja aku tak lansung mengarahkannya pada orang-orang kulit hitam ataupun Yahudi, karna kulihat-lihat mereka sama-sama bingungnya dan miskin juga sepertiku.

Memang ada kalanya aku berpidato dengan liar di dalam maupun luar kelas, dengan bantuan sebotol anggur yang selama ini telah kusimpan di dalam loker. Aku terkejut bahwa begitu banyaknya orang yang mendengarkanku dan hanya sedikit, jika ada, mempertanyakan gagasan yang kusampaikan. Aku hanya berbicara sesuka hati dan merasa senang melihat betapa menyenangkannya L.A. City College.

“Apa kau akan maju menjadi Presiden Mahasiswa, Chinaski?”

“Enggak, persetan hal itu!”

Aku tak ingin melakukan apapun. Aku bahkan tak mau untuk pergi ke gym. Malahan, jika ada hal terakhir yang akan kulakukan, hal itu adalah pergi ke gym, berkeringat, memakai celana ketat penahan selangkangan, dan membandingkan penis siapa yang lebih panjang. Aku telah mengetahui penisku berukuran sedang. Jadi aku tak butuh gym untuk membuktikan hal itu.

Kami beruntung. Pihak kampus membebankan biaya pendaftaran hanya sebesar dua dolar. Kami memutuskan — beberapa dari kami memutuskan, setidaknya — bahwa itu tidak konstitusional, jadi kami menolak. Kami mogok menentangnya. Kampus memberi izin untuk tetap menghadiri kelas, tetapi mencabut beberapa hak istimewa kami, salah satunya adalah pergi ke gym.

Saat tiba waktunya kelas gym, kami berdiri hanya mengenakan pakaian biasa. Pelatih diberi aba-aba untuk mengarak kami naik dan turun di lapangan dengan formasi yang rapat. Itu sebagai balas dendam mereka. Begitu indah. Tak perlu lagi aku berlari mengeliling lapangan dengan pantat yang berkeringat ataupun melempar bola basket gila ke keranjang yang juga gila.

Kami berbaris sembari menciptakan lagu-lagu yang tak senonoh, dan seorang pria amerika yang sangat baik di tim sepakbola mengancam akan menghajar kami, namun entah mengapa mereka tak pernah melakukannya. Mungkin karena kami lebih besar dan lebih kasar.

Bagiku, hal ini sangat indah sekali, berpura-pura menjadi seorang Nazi, lalu berbalik dan menyatakan bahwa hak-hak konstitusional ku telah dilanggar.

Memang terkadang aku terbawa emosi. Sperti saat itu di kelas, setelah terlalu banyak minum anggur, kedua bola mata telah memerah, aku berkata, “Kujanjikan padamu, ini tak akan menjadi perang yang terakhir. Ketika seorang musuh baru saja dibunuh, seketika yang lainnya baru saja ditemukan. Hal ini tak memiliki batas akhir, dan tak jua memiliki arti. Tak ada yang namanya perang yang baik ataupun perang yang buruk.”

Di waktu lainnya, ada seorang komunis tengah berteriak di atas podium di sebidang tanah kosong di selatan kampus. Seorang pemuda yang sangat serius dengan kacamata tanpa bingkai, berjerawat, mengenakan sweter hitam yang berlubang di sikunya. Aku dan beberapa pengikutku berdiri diam dan mendengarkan. Salah satu dari mereka adalah seorang Rusia Putih, Zircoff, ayahnya ataupun kakeknya telah mati dibunuh oleh kaum Merah dalam revolusi Rusia. Ia menunjukan padaku sekantung tomat busuk.

“Ketika kau memberi aba-aba,” ujarnya kepadaku, “kami akan mulai melemparkan ini”

Akupun tersadar bahwa para pengikutku tak mendengarkan si pembicara, jikapun mereka mendengarnya, apapun yang telah diucapkan juga tak ada artinya. Pikiran mereka sudah tak bisa diganggu-gugat. Sebagian besar kehidupan di dunia ini memang telah seperti itu. Layaknya memiliki ukuran penis yang sedang sudah tak lagi dianggap sebagai dosa terburuk.

“Zircoff,” tegasku, “jangan lempar tomat-tomat itu!”

“Sial,” ujarnya, “seandainya saja ini granat tangan.”

Aku kehilangan kuasa atas para pengikutku di hari itu, dan pergi menjauh saat mereka mulai melemparkan tomat-tomat busuk mereka.

Aku diinfokan bahwa ada Pelopor Partai baru yang akan dibentuk. Aku pun diberikan sebuah alamat, di Glendale, dan malamnya langsung kusegerakan berangkat ke sana.

Kami duduk di ruangan bawah tanah di salah satu rumah besar dengan beberapa botol anggur dan ukuran penis yang beragam.

Disana ada sebuah panggung dan meja dengan bendera Amerika yang berukuran besar tergantung di dinding belakang. Seorang pria Amerika yang terlihat sangat sehat berjalan keluar ke panggung dan menyarankan kami untuk mulai memberi hormat kepada bendera itu dan mengucapkan janji setia.

Aku selalu tak suka mengucapkan janji setia kepada bendera. Karena itu sangat membosankan dan konyol. Aku selalu merasa lebih ingin bersumpah setia kepada diri sendiri, namun disinilah kami sekarang, berdiri dan bersumpah pada bendera.

Lalu, setelahnya, ada sedikit jeda, dan semuanya kembali duduk dengan perasaan seolah-olah baru saja dilecehkan.

Pria Amerika yang sangat sehat tadi mulai berbicara. Aku mengenalinya sebagai bocah gemuk yang selalu duduk di depan saat kelas penulisan drama. Aku tak pernah mempercayai mahkluk yang demikian. Penjilat. Benar-benar menjilat. Di memulai pembicaraanya: “Ancaman Komunis harus segara dihentikan. Adapun alasan kita berkumpul disini, adalah untuk merencanakan langkah-langkah menghentikannya. Kita akan mengambil langkah-langkah hukum, namun tak menutup kemungkinan, kita menggunakan langkah-langkah tanpa hukum untuk melakukan ini…”

Aku tak begitu ingat kelanjutannya. Aku tak peduli dengan ancaman Komunis ataupun ancaman Nazi. Aku hanya ingin minum hingga mabuk, aku hanya ingin bersetubuh, aku hanya ingin sepiring makanan yang lezat, aku hanya ingin bernyanyi di atas segelas bir di dalam bar yang kotor dan menghisap sebatang rokok. Aku tak begitu sadar. Aku hanyalah sebatas boneka, ya, sebuah alat.

Kian waktu berlalu, aku, Zircoff, dan seorang mantan pengikut pergi ke Taman Westlake, kami menyewa salah satu perahu dan mencoba menangkap seekor bebek untuk makan malam. Namun kami sudah terlalu mabuk, kami tak dapat menangkap bebek, dan juga baru sadar ternyata kami tak mempunyai cukup uang untuk membayar biaya sewa perahu.

Kami terus mengambang di danau yang dangkal dan bermain Russian Roulette dengan pistol milik Zarcoff. Beruntung kami semua selamat.

Zarcoff tampaknya semakin mabuk, ia berdiri di bawah sinar bulan dan menembakkan senjata apinya ke dasar perahu. Air pun mulai masuk, dan kami bergegas untuk menepi. Namun baru sepertiga jalan menuju daratan, perahunya sudah tenggelam, dan kami pun harus keluar dengan pantat yang basah ke tepian. Jadi, malamnya berakhir dengan baik dan juga tak yang terbuang percuma…

Aku berpura-pura sebagai Nazi dalam rentan waktu yang lumayan lama, meski yang sebenarnya aku tak peduli tentang Nazi, Komunis, ataupun Amerika. Tapi aku mulai kehilangan minat. Faktanya, tepat sebelum kejadian Pearl Harbour aku menyerah. Kesenangan dalam melakukannya telah hilang. Aku merasa perang akan segera terjadi dan aku tak merasa ingin pergi berperang dan juga tak mau jadi orang yang menolak peperangan hanya karena alasan hati nurani. Semua itu omong kosong! Semua itu takda guna! Aku dan penisku yang berukuran medium sedang berada dalam masalah!

Aku pun menunggu; duduk di kelas tanpa kata. Para murid dan pembimbing menggangguku. Aku telah kehilangan arah, kehilangan tenaga, juga kehilangan nyali. Aku merasa segala situasi saat ini telah berada di luar kendali. Semua yang ku takutkan akan terjadi. Semua penis kini sedang berada dalam masalah.

Seorang pembimbing bahasa Inggrisku adalah wanita yang baik, dengan kakinya yang indah, memintaku untuk jangan segera pergi setelah kelas selesai.

“Apa yang terjadi denganmu, Chinaski?” tanyanya, “aku menyerah,” ucapku. “Maksudmu politik?” ia bertanya. “Ya, politik,” ujarku. “Kau akan menjadi pelaut yang hebat,” ucapnya. Akupun keluar…

Aku tengah duduk dengan seorang sahabat baik, ia seorang marinir, di sebuah bar di pusat kota, sedang meminum bir disaat hal itu terjadi. Radio yang tengah memutar musik, terjeda. Mereka memberitahu kami bahwa Pearl harbour baru saja dibom. Diumumkan bahwa semua personil militer harus segera kembali ke pangkalan mereka. Sahabatku pun memintaku untuk ikut bis bersamanya ke San Diego dengan mengatakan ini adalah kali terakhir aku dapat melihatnya.

Dia benar.

--

--

Ifan Reynaldi Yz.
Ifan Reynaldi Yz.

No responses yet