/Merahyanghitam
Jeruji paternalisme rawak bilateral melemboyong kilafah arkais bersentralistik honji dan pura melankolis di gembong sakura akan penggaret. Koersi artifisial abadi mentaris dan lekup panji-panji wasiat pada nurani despot biosfer berantai serta-merta rujukan penegasan Esa dan Petlura. Sambut ini untaian tangan kiri juntrungan revolver pada gedung-gedung putih PENGKHIANAT HISTORIK.
Menerjal kaula sipil dengan gasak di tulang punggung tengkorak depan tertimbun prestise bahwa kendatinya label wibawa hanya sokongan agraris. Kemawaran matahari ini akan menguning di keras nisan. Deponir. Tambo di putih kertas dan signatur. Bulan-bulanan pemaksaan untuk berjibaku pada retorik tak lagi atmosfer parak ini di gandangkan sengketa hingga melalau amanat pada ganja. Remunerasi di isme kan. Buruh bawah dibandang ludah hingga sorak penegakan rhythm merah dua alibi palu dan kapak vandalis menyesar hitam.
Kamerad.
Segaralah kobdarkan angkatan 66 sua beritme monokrasi. Interegnum berpindah tangan berupa gelang-gelang anarko untuk legasi persumpahan paleolitikum elektokrat bersandang kafan dan hendak sadar getarkan Mosi Tidak Percaya. Simbahi tikar galakkan revoke di terjal-terjal persimpangan busung lapar. Mosaikkan oksimoron pada dinding-dinding yang bermargin vandalistik. Tarik keras garis lingkar kapital “A” dari ujung lambung plutokrasi yang berselempangkan pangkat. Ukir nama-nama sejawat yang pernah hilang atau dipetruskan dengan keharuman belati di bawah air mata dan payung hitam. Retas laksamanakan kepada rakjat spektakel kode ifrit 13.12 mengunjuk otak udang yang ditutupi penjualan ribuan hektar sawah. Rompak kembali hak-hak kelas menengah sipil hingga mereka terbuka mata bahwa kaidah nanti di tanah ini akan terimplementasi harmoni semakmur Dayak.
Kalau hidup hanya sekadar hidup, babi di kubangan juga HIDUP. Kalau bekerja hanya sekadar bekerja, topeng monyet juga BEKERJA.